Ikhwah Sejati Harus Jadi Seorang Murabbi..kah?

*Salin dan tampal dari sini. *
** Terjemahan ini dibuat sendiri, jadi ia kurang tepat **

Judul di atas benar2 sebuah pertanyaan yg sering banget muncul di benak saya. Apalagi ketika hampir di setiap ta’lim atau buku ttg dakwah/tarbiyah yg saya baca dan ikuti selalu saja menekankan keharusan seorang ikhwah tuk jadi murobbi. Dan yg jadi tertuduh utama adalah mereka2 yg dah tarbiyah lama, dianggap punya bekal yg cukup, tp blum mau memikul tanggung jawab memiliki binaan. Mungkin saya berlebihan, tapi terkadang saya menangkap kesan bahwa mereka (yg lum mw jd murobbi) dituding sebagai penakut, pengecut, lari dari tanggung jawab…

Tajuk di atas ialah persoalan yang sering berkisar di benak saya. Apatah lagi apabila hampir pada setiap liqa' (pertemuan) atau buku tentang dakwah/tarbiah yang saya baca dan ikuti selalu menekankan keharusan seorang ikhwah/akh untuk menjadi murabbi/naqib. Dan yang menjadi sasaran utama adalah mereka yang sudah lama ditarbiah, dianggap mempunyai bekalan (ilmu dan pengalaman) yang cukup, tapi belum sanggup memikul tanggungjawab memiliki anak binaan/mutarabbi. Mungkin saya dianggap ekstrem, tapi kadang-kadang saya amati bahawa mereka (yang belum mahu jadi murabbi) dituding sebagai penakut, pengecut, lari dari tanggunjawab..

Saya sangat setuju bahwa proses belajar dengan mengajar adalah motor utama gerakan tarbiyah. Dan harus diakui, menjadi guru/mentor/murobbi menimbulkan kenikmatan tersendiri yg sulit terungkap oleh kata. Belum lagi jika teringat pahalanya yg akan terus mengalir sepanjang masa. Tapi, saya tetap merasa “pemaksaan” kepada kader dakwah tuk menjadi seorang murobbi merupakan hal yg kurang bijak. Bagaimanapun, setiap orang memiliki kemampuan dan kapasitas yg berbeda, dimana amat dimungkinkan tidak semua ikhwah sanggup dan berbakat jadi “guru”.

Saya sangat bersetuju bahawa proses belajar dengan mengajar adalah nadi utama gerakan tarbiah. Dan harus juga diakui, menjadi guru/mentor/murobbi/naqib menimbulkan kenikmatan tersendiri yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Belum lagi jika kita mengenang pahalanya yang akan terus mengalir sepanjang masa. Tapi, saya tetap merasa "pemaksaan" kepada kader dakwah untuk menjadi seorang murobbi/naqib merupakan perkara yang kurang bijak. Kerana, setiap orang memiliki kemampuan/abiliti dan kapasiti yang berbeza, di mana adalah mustahil semua ikhwah sanggup dan berbakat menjadi "guru".

Kata2 seperti “jangan pernah ngaku jadi ikhwah sejati kalo lum jadi murobbi” terdengar amat menyudutkan ditelinga saya. Yah, itu memang untuk membangkitkan motivasi bagi setiap ikhwah tuk senantiasa mengembangkan diri hingga sampai pada level “pantas” diserahi amanah besar tersebut. Namun, kadang itu jg terasa bagaikan pendiskreditan diri, sehingga ketika datang tawaran tuk jadi murobbi, akhirnya itu hanya menjadi ajang pembuktian pada diri sendiri, bahwa saya juga pantas disebut ikhwah sejati. Padahal mungkin klo mw jujur pada hati, diri belum siap dan sanggup memikul tanggung jawab beserta segala konsekuensinya..

Kata-kata seperti "jangan pernah mengaku jadi ikhwah sejati kalau belum menjadi murabbi" terdengar amat menyesakkan di telinga saya. Ya, itu memang untuk membangkitkan motivasi bagi setiap ikhwah untuk sentiasa mengembangkan diri hingga sampai pada level boleh diserahkan amanah tersebut. Namun, kadang-kadang itu juga terasa bagaikan membohongi diri, sehingga ketika datang tawaran menjadi murabbi, akhirnya itu hanya menjadi bukti bahawa saya juga boleh digelar ikhwah sejati. Padahal mungkin kalau mahu jujur pada hati, diri belum bersedia dan sanggup memikul tanggungjawab beserta segala kesan dan hasilnya.

Sekali lagi, tidak dapat dipungkiri setiap kita tidak hanya memiliki bakat dan keistimewaan tersendiri, tapi juga kelemahan dan kekurangan. Oke, esensi tarbiyah memang mengubah dari yg kurang baik menjadi lebih baik, tidak mampu menjadi mampu, mengembangkan kualitis diri hingga bisa disebut da’i sejati… Tapi gak semudah itu kan mengeliminir segala kekurangan yg ada pada diri?? Bisa juga dianalogikan dg orang2 dalam organisasi misalnya, ada yg cocok jd konseptor tp ada juga yg memang lebih hebat ketika jadi pelaksana.. juga ketika lebih men-spesifikkan diri dalam memilih peran, mw jadi ustadz atau jadi aktivis.. semua punya ability dan kecenderungan masing2.. jadi ketika seseorang memang merasa tidak sanggup jd murobbi, kenapa harus dipaksakan??

Sekali lagi, tidak dapat dinafikan setiap kita tidak hanya memilik bakat dan keistimewaan tersendiri, tapi juga kelemahan dan kekurangan. Baik, isi tarbiah memang mengubah dari yang kurang baik menjadi lebih baik, tidak mampu menjadi mampu, mengembangkan kualiti diri hingga boleh digelar da'i sejati. Tapi tidak semudah itu akan menyingkirkan segala kekurangan yang ada pada diri..?? Boleh juga dianalogikan dengan orang-orang dalam organisasi misalnya, ada yang sesuai jadi perancang tapi ada juga yang memang lebih hebat ketika menjadi pelaksana.. juga ketika lebih menspesifikkan diri dalam memilih peranan, mahu jadi ustaz atau jadi aktivis.. semua mempunyai keistimewaan dan kecenderungan masing-masing.. jadi ketika seseorang memang merasa tidak sanggup menjadi murabbi, kenapa harus dipaksa?


Pemaksaan diri tuk menjadi seorang murobbi hanya akan menimbulkan kekecewaan pada mutarobbi.. seandainya mereka memiliki murobbi yg lebih berkompeten mungkin mereka bisa mendapatkan sesuatu yg lebih, menjadi seseorang yg lebih.. Tetap bertahan hanya atas dasar pembuktian diri bahwa saya juga ikhwah sejati.. tidakkah itu egois?? Apologi bahwa murobbi juga manusia biasa dg segala keterbatasan yang ada, tidak bisa selalu dijadikan pembenaran.. Tidak ada seorang-pun yg menuntut kesempurnaan seorang murobbi, tapi harus jujur, memang banyak kriteria yg harus dipenuhi juga bekal yg perlu disiapkan .. dan kembali lagi, tidak semua orang siap, sanggup dan mampu untuk itu…

Pemaksaan diri untuk menjadi seorang murabbi hanya akan menimbulkan kekecewaan pada mutarabbi.. seandainya mereka memiliki murabbi yang berkompeten mungkin mereka boleh mendapatkan sesuatu yang lebih, menjadi seseorang yang lebih.. Tetap bertahan hanya atas dasar mahu membuktikan bahawa aku juga seorang ikhwah sejati.. tidakkah itu egois? Apalagi bahawa murabbi juga manusia biasa dengan segala keterbatasan yang ada, tidak juga sentiasa betul. Tidak ada seorang pun yang menuntut kesempurnaan seorang murabbi, tapi harus jujur, memang banyak kriteria yang harus dipenuhi serta bekal yang perlu disiapkan.. dan sekali lagi, tidak semua orang bersedia, sanggup dan mampu untuk itu..

Amat mudahnya penunjukkan serta penerimaan seseorang menjadi murobbi tidak jarang malah menjadi blunder bagi dakwah itu sendiri.. kita memang bisa dan harus bisa belajar dari kesalahan, namun ketika kesalahan itu selalu berulang maka yg akan terjadi hanya-lah trial&error yg bakal membuat halaqah jadi gak sehat, binaan gak berkembang dan muwashofat gak terpenuhi.. Saya mengungkapkan ini atas dasar pengalaman pribadi, dimana saya pernah merasakan kecewa terhadap murobbi sekaligus kecewa pada diri sendiri karena gak becus ngadepin mentee..

Amat mudahnya penunjukan serta penerimaan seseorang murabbi tidak jarang malah menjadi kesalahan besar bagi dakwah itu sendiri.. kita memang boleh dan harus belajar dari kesalahan, namun tika kesalahan itu selalu berulang maka yang akan terjadi hanyalah 'trial & error' yang bakal membuatkan halaqah itu tidak sihat, anak binaan/mutarabbi tidak berkembang dan muwassofat tarbiah (ciri-ciri tarbiah) tidak dipenuhi.. Saya mengungkapkan ini (penulis asal artikel ini) atas dasar pengalaman peribadi, di mana saya pernah merasakan kecewa terhadap murabbi sekaligus kecewa pada diri sendiri kerana tidak mampu menghadapi mentee/mutarabbi..

Tidak, tulisan saya kali ini sama sekali tidak bermaksud untuk menyurutkan tekad dan keinginan para ikhwah menjadi seorang murobbi. Mungkin ini hanyalah semacam ajakan untuk memberi pemakluman bagi ikhwah lain yg menolak ketika diberi amanah tersebut. Dimata saya mereka bukanlah orang yg kalah dan mudah menyerah.. Mungkin mereka malah orang2 yg sepenuhnya memahami kelebihan dan kekurangan yg mereka miliki sehingga bisa memaksimalkan potensi di bidang2 yg memang mereka sanggupi…

Tidak, tulisan saya kali ini sama sekali tidak bermaksud untuk melemahkan tekad dan keinginan para ikhwah menjadi seorang murabbi. Mungkin ini hanyalah semacam ajakan untuk memberi pemaklumana bagi ikhwah lain yang menolak ketika diberi amanah tersebut. Di mata saya mereka bukanlah orang yang kalah dan mudah menyerah.. Mungkin mereka malah orang-orang yang sepenuhnya memahami kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki sehingga boleh memaksimumkan potensi di bidang-bidang yang mereka sanggup.

Tapi bagaimanapun, saya tetap yakin setiap ikhwah pasti mempunyai mimpi menjadi seorang murobbi sejati…

Walaubagaimanapun, saya tetap yakin setiap ikhwah pastinya mempunyai impian untuk menjadi seorang ikhwah dan murabbi sejati..

p/s - maaf pada ikhwah. Entry ini bukan hendak mem'backup' diri ana, tapi rasanya, kadang-kadang perlu ade toleransi dengan sesetengah ikhwah. Tak semua orang sempurna, dan tidak boleh pula kita memaksa supaya berubah. Bukankah prinsip dalam dakwah itu dengan lemah lembut? Makanya, lebih baik memujuknya mengubah sikap dari memarahi dan memaksanya.

~ Tarbiah yang makin dingin, maka perlukan kehangatan yang menyentap! ~

9 Tindakbalas²:

Anonymous said...

Innalillah...

Semoga kita tak jadi dalam kalangan orang-orang yang duduk, akhi...

[ Tanpa Nama ]

ya, dan bergeraklah dengan cara masing-masing, kemampuan masing-masing. Jangan memaksa diri. Biar lambat asalkan selamat, tapi jangan terlampau sambil lewa pula. Akan menjadi berlengah-lengah pulak nanti.

Anonymous said...

Bila anda hendak mengajak seorang muslim untuk ikut serta dalam kegiatan
atau aktiviti islami apa saja, meski hanya berupa aktiviti khidami (pelayanan) tentu
Anda akan terkejut dengan jawabannya, "Wahai Paman, saya bukan da'i!" Upaya
mengelak seperti ini sering terjadi pada kebanyakan mereka. Pernyataan semacam
itu sangat mengganggu pikiran saya hingga akhirnya saya menyadari bahwa mereka
yang mengatakan, "saya bukan da'i," dan sejenisnya kepada para da'i memang pantas
dimaklumi. Mereka memang belum mengenal dakwah yang membangkitkan kesadaran
dan kehidupan pada diri mereka, dakwah yang mam-pu mendorong mereka untuk
beramal dan berjihad. Perbedaan antara kita dengan mereka adalah "kita
mengenal dakwah" sedang mereka "belum mengenal dakwah".

Kay J said...

ana rs ana kurg setuju dgn penulisan ni.. sbb ana jg pernah TERPAKSA jd murobbi dlm keadaan tidak bersedia.. dlm keadaan usrah ana sendiri belum ckp mantap.. dlm keadaan jemaah yg tidak stabil..

menzalimi mutarabbi adalah masalah individu tu sendiri, jika kita ADA rs tanggungjwb, kita akan berusaha utk buat yg terbaik..

alhamdulillah salah seorg mutarabbi ana msh kekal dijalan yg sama.. insyaallah.. kita jgn terlalu byk memberi alasan, dan kenapa tidak belajar utk menjadi murobbi kalau tidak mahir..

dinulhuda said...

salam ya akh...ana yakin enta sebenarnya mampu untuk memikul tanggungjawab sebagai seorang murobbi..kenapa?sebabnya..ada sebabnya....

[ Tanpa Nama ]

Ya betul. Tapi di sini agak pelik bila mana mutarabbi atau mad'u yang 90% terdiri dari lepasan Sijil Tinggi Agama pula yang menolak untuk bersama dari permulaan lagi, bila diajak qiam, iftor atau riadah bersama.

[ Kay J ]

Mungkin pendapat kita berbeza. Sila perhatikan ini :

"Mungkin mereka malah orang-orang yang sepenuhnya memahami kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki sehingga boleh memaksimumkan potensi di bidang-bidang yang mereka sanggup."

Dalam konteks sesetengah orang, mungkin dia ada bidang yang lebih dia sanggup 'turun padang'. Maka berikanlah posisi itu padanya. Hal sebaliknya boleh menyebabkan 'pemberontakan dari dalam' jika memaksanya.

[ dinulhuda ]

Kenapa yea? Sila habiskan ayat anda.

Anonymous said...

Kita hormati perbedaan pendapat, keputusan menjadi murobbi hanya masalah waktu saja. Jika seseorang merasa dirinya belum siap, maka jangan dipaksakan.. Agama Islam ini tidak ada paksaan di dalamnya. Inti dari tarbiyah adalah mendewasakan diri untuk mencari segenap ilmu mensholihkan diri kemudian mensholihkan orang lain.

Jadi kita pun harus dewasa dalam menyikapi perbedaan, tegur dan sapalah dengan cara yang santun..

InsyaALlah ukhuwah ini akan barokah

Salam Ukhuwah Saudaraku...
-Fitriana Nugraha-